BWIPOST.CO.ID, Gambiran – Kasus perkelahian yang melibatkan sejumlah pengunjung di sebuah tempat karaoke di wilayah Kecamatan Gambiran pada Senin (03/11/2025) dini hari berujung pada kesepakatan perdamaian. Dalam kesepakatan tersebut, pihak yang diduga sebagai pelaku sepakat memberikan kompensasi kerugian kepada korban.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa proses perdamaian tersebut dilakukan di Balai Desa Gambiran dan dimediasi oleh perangkat desa setempat. Namun, langkah penyelesaian kasus perkelahian melalui mediasi desa ini menuai sorotan dan kritik dari kalangan praktisi hukum di Banyuwangi.
Advokat dan Praktisi Hukum, Nurul Safii, S.H., M.H., menilai bahwa penyelesaian kasus yang mengandung unsur dugaan tindak pidana tidak dapat dilakukan begitu saja melalui mediasi di tingkat desa tanpa melibatkan aparat penegak hukum.
“Secara umum, mediasi dugaan tindak pidana di kantor desa tanpa melalui proses hukum formal adalah kekeliruan, karena melangkahi batas kewenangan yang telah diatur. Hal ini berisiko mengabaikan hak-hak hukum para pihak,” ujarnya.
Menurut Nurul, tindak pidana merupakan ranah hukum publik yang penangannya harus merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Polisi adalah lembaga yang berwenang menerima laporan, melakukan penyelidikan, dan penyidikan.
Nurul tidak menolak konsep Restorative Justice (RJ) yang saat ini menjadi salah satu pendekatan penyelesaian perkara pidana. Namun, ia menegaskan bahwa penerapan Restorative Justice tetap harus melalui proses dan pengawasan aparat penegak hukum, bukan dilakukan secara mandiri oleh perangkat desa.
“Restorative Justice itu bukan sekadar berdamai dan mengganti kerugian. Ada prosedur yang jelas. Tahapan RJ wajib berada dalam pengawasan penyidik, dan harus mempertimbangkan unsur kepentingan umum, perlindungan korban, serta memastikan tidak ada paksaan. Jadi tidak bisa perangkat desa memutuskan sendiri,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa perangkat desa tidak memiliki kewenangan yudikatif maupun penyidikan, sehingga tidak dapat secara sah menentukan kesalahan maupun penyelesaian akhir atas perkara pidana.
“Jika Restorative Justice dilakukan tanpa prosedur yang benar, justru berpotensi menciptakan impunitas, tekanan sosial kepada korban, dan menghilangkan kepastian hukum. Padahal keadilan dan kepastian hukum adalah hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi,” tegasnya.